UU PDP Bisa Bungkam Jurnalis, SIKAP Gugat Pasal “Karet” ke MK
Portalkaltim.com, Jakarta – Koalisi masyarakat sipil SIKAP (Kebebasan Informasi dan Data Pribadi) mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Mereka menilai pasal-pasal tersebut bisa menjadi alat pembungkam suara publik dan pers, termasuk saat jurnalis mengungkap identitas pelaku kejahatan.
“Rumusan Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) UU PDP tidak mengakomodir kebebasan berekspresi dan hak publik atas informasi yang dijamin konstitusi,” tegas Kuasa Hukum Pemohon Gema Gita Persada, dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025 di MK, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Pasal 65 ayat (2) melarang setiap orang mengungkap data pribadi milik orang lain, sementara Pasal 67 ayat (2) mengancam pidana penjara hingga 4 tahun atau denda Rp4 miliar bagi pelanggar.
Tanpa pengecualian, norma ini dinilai berbahaya, yakni jurnalis yang membongkar identitas koruptor, aktivis yang mengungkap data mafia tambang, atau seniman yang menyuarakan kritik bisa tiba-tiba dijerat hukum.
Koalisi yang terdiri dari pengajar, ilustrator, jurnalis independen (AJI), dan SAFEnet menegaskan, pasal karet UU PDP berpotensi digunakan negara untuk membungkam kritik sah serta membatasi partisipasi warga negara.
Alih-alih melindungi, norma kabur ini justru menciptakan ketakutan dan otosensor di kalangan masyarakat sipil.
“Bayangkan, identitas pelaku kejahatan korupsi dibuka oleh media bisa dianggap melanggar UU PDP. Padahal, itu adalah hak publik untuk tahu,” kata salah satu anggota SIKAP.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menafsirkan ulang pasal tersebut agar tidak berlaku mutlak.
Mereka mengusulkan pengecualian untuk kerja-kerja jurnalistik, akademik, kesenian, kesusastraan, serta aktivitas yang berkaitan dengan akses publik terhadap informasi.
Bagi SIKAP, demokrasi konstitusional hanya bisa tegak jika rakyat bebas berbicara tanpa dihantui ancaman pidana.
Jika tidak, UU PDP bisa berubah dari tameng perlindungan menjadi senjata sensor yang membungkam pers, seniman, dan warga negara kritis. (SH)
