Pemprov Kaltim Siapkan Keberangkatan Religi 196 Penjaga Rumah Ibadah Non-Muslim
Portalkaltim.com, Samarinda – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) memastikan 196 penjaga rumah ibadah non-Muslim akan diberangkatkan ke tanah suci sesuai keyakinannya masing-masing mulai September 2025.
Program ini menjadi bagian dari perhatian pemerintah daerah terhadap para penjaga gereja, pura, vihara, dan kelenteng yang selama ini mengabdikan diri menjaga rumah ibadah.
Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji menegaskan bahwa perjalanan religi ini menjadi bentuk apresiasi nyata pemerintah kepada para penjaga rumah ibadah lintas agama.
“Non muslim ada 196 orang yang akan diberangkatkan bertahap, mulai September 2025 mendatang,” ujarnya di Kantor Gubernur Kaltim, Selasa (26/8/2025).
Plt Kabag Bina Mental Spiritual Biro Kesra Pemprov Kaltim Lora Sari merinci peserta yang akan berangkat tahun 2025 terdiri dari:
* 116 orang penjaga gereja Protestan,
* 43 orang Katolik,
* 19 orang Hindu,
* 8 orang Buddha,
* 3 orang Khonghucu.
Mereka akan diberangkatkan ke tempat-tempat suci sesuai agamanya, yakni Protestan ke Yerusalem (Israel), Katolik ke Vatikan (Eropa), Hindu ke India, Buddha ke China dan Thailand, serta Khonghucu ke China.
“Perjalanan religi ditentukan masing-masing agamanya,” jelas Lora.
Meski demikian, keberangkatan ke Yerusalem masih dalam tahap pembahasan. Faktor keamanan di wilayah konflik menjadi perhatian serius.
“Apalagi protestan ke Yerusalem, kondisi masih ada konflik karena itu masih didiskusikan di Kemenag bidang Binmas Kristen. Jadi menyesuaikan kondisi lagi,” tegasnya.
Selain soal keamanan, Pemprov Kaltim bersama Kemenag juga masih menyusun teknis jadwal dan mekanisme pemberangkatan agar tidak berbenturan dengan kondisi lapangan.
Untuk bisa mengikuti program ini, peserta wajib memenuhi kriteria:
* Minimal 3 tahun berdomisili di Kaltim,
* Minimal 2 tahun mengabdi sebagai penjaga rumah ibadah atau marbot.
Namun, bila peserta meninggal dunia atau sakit sebelum keberangkatan, kuota tidak bisa diwakilkan.
“Posisinya kalau ada yang sakit dan meninggal itu tidak bisa diwakilkan, otomatis kita hapus dari data dan dikembalikan ke negara (uangnya),” tambah Lora.
Program ini patut diapresiasi sebagai wujud kesetaraan pelayanan antarumat beragama. Namun, tantangan terbesar justru terletak pada keberlanjutan dan konsistensi pelaksanaannya hingga 2030, termasuk transparansi pendanaan dan seleksi peserta.
Selain itu, kondisi geopolitik, khususnya rencana perjalanan ke Yerusalem, perlu dikawal dengan cermat agar tidak menimbulkan persoalan baru. (SH)
