Jeritan Guru R4 di Parlemen: Belasan Tahun Mengabdi, Nasib Honorer Terancam

Ilustrasi kurangnya kesejahteraan guru honorer dan nasib lontang-lantungnya di tengah wacana penghapusan honorer di 2025

Portalkaltim.com, Jakarta — Kisah-kisah pilu tentang guru-guru honorer, pahlawan tanpa jasa di Indonesia, bukan lagi rahasia segelintir orang.

Semua telinga dan mata dapat mendengar serta melihat bagaimana dunia pendidikan di negara yang sebentar lagi berusia 80 tahun di 17 Agustus 2025 mendatang, tidak berpihak pada kesejahteraan mereka.

Di tengah wacana penghapusan tenaga kerja honorer di 2025 ini, membuka kembali realita pahit kembali terdengar dari ruang parlemen.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR RI bersama Ikatan Pendidikan Nusantara dan PB PGRI di Ruang Sidang Parlemen DPR RI pada Senin (14/7/2025), seorang perwakilan guru honorer R4 dari Bengkulu menyuarakan kegelisahan kolektif ribuan guru di Indonesia.

Mereka merasa terabaikan dalam proses seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK). Ia mengungkapkan, sistem yang selama ini berjalan tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan di lapangan.

Belasan hingga puluhan tahun membantu mencerdaskan anak bangsa, hanya berbalaskan sistem yang dianggap mereka berat sebelah dan hanya memenuhi kepentingan sebagian pihak saja.

Tangkapan layar perwakilan guru honorer R4 yang menceritakan nasib mereka di RDPU Komisi X DPR RI bersama Ikatan Pendidikan Nusantara dan PB PGRI di Ruang Sidang Parlemen DPR RI
Tangkapan layar perwakilan guru honorer R4 yang menceritakan nasib mereka di RDPU Komisi X DPR RI bersama Ikatan Pendidikan Nusantara dan PB PGRI di Ruang Sidang Parlemen DPR RI

“Di mata pemerintah, R4 adalah guru yang hanya terdata di Dapodik selama dua tahun berturut-turut. Tapi kenyataannya di lapangan, kami sudah mengabdi 7 sampai 11 tahun, Bu,” ucap sang guru dengan suara bergetar, menggambarkan betapa timpangnya realitas dan regulasi yang berlaku.

Ia mengisahkan bahwa keberadaan guru R4 terhambat masuk ke database nasional hanya karena tidak memiliki “jalur dalam”. Di mana, mereka para honorer yang sudah bertarung di lapangan sangat lama, kalah dari mereka yang memiliki koneksi dengan pihak “atas”, walau hanya mengabdi dua tahun.

“Teman saya bahkan sudah 11 tahun mengajar, tapi karena tidak ada akses dari atas, tidak pernah masuk database. Sementara ada yang baru dua tahun mengabdi, langsung dapat SK Gubernur,” lanjutnya dengan getir.

Guru honorer R4, dijelaskan wanita bertudung ungu tersebut, adalah mereka yang disebut sebagai honor murni, yang menerima gaji hanya Rp30 ribu per jam, itu pun hanya dihitung berdasarkan jam mengajar dalam sebulan. Jika mendapat 18 jam sebulan, total penghasilan mereka hanya sekitar Rp540 ribu.

“Itu pun belum tentu cair tepat waktu. Kami tidak punya BPJS, tidak punya perlindungan, dan tetap diminta menyelesaikan semua tugas,” tegasnya.

Ironisnya, dalam pengabdian yang panjang dan tak selaras dengan pendapatannya, para guru R4 tetap diminta menjalankan peran strategis lainnya di sekolah, seperti menjadi pembina OSIS dan menangani program-program sekolah tanpa insentif apa pun.

“Kami tetap ikhlas, karena kami peduli pada anak-anak. Tapi sampai kapan pengabdian ini harus dibayar dengan ketidakpastian?” ujarnya lirih.

Ia pun meminta perhatian serius dari pemerintah dan parlemen terkait nasib guru honorer R4. Terlebih, Undang-Undang telah mengamanatkan bahwa penyelesaian status tenaga honorer harus tuntas sebelum 2025.

“Kalau R2 dan R3 sudah dijanjikan NIP, lalu kami yang R4 mau dikemanakan, Bu?” tutupnya.

RDPU ini menjadi momen refleksi, bahwa di balik angka-angka database dan regulasi, ada manusia yang mengabdi tanpa pamrih.

Sudah saatnya negara hadir untuk mereka yang selama ini berdiri paling depan, namun selalu duduk di belakang barisan pengakuan. (SH)

Loading