Kelapa Melimpah, Tapi Masih Impor: Dilema Buah Kelapa di Benua Etam
Portalkaltim.com, Samarinda – Di tengah melimpahnya pohon kelapa yang tumbuh subur di pesisir Kalimantan Timur (Kaltim), ironisnya buah seribu manfaat ini justru masih harus didatangkan dari luar daerah. Sulawesi bahkan menjadi penyuplai utama, dengan harga yang lebih murah dibandingkan kelapa lokal Kaltim.
Di Pasar Segiri, salah satu pusat ekonomi rakyat Samarinda, Dewi, pedagang kelapa yang telah 10 tahun berjualan, menyampaikan kenyataan yang membuat kita merenung.
“Kelapa dari Sulawesi malah lebih murah dibanding kelapa kita sendiri,” tuturnya Selasa (3/5/2025), sambil melayani pelanggan.
Faktor pasokan dan kualitas menjadi penyebab utama. Dewi menyebut kelapa dari Sulawesi datang dalam jumlah besar, sementara kelapa lokal—seperti yang berasal dari Handil, Kutai Kartanegara—masih terbatas dan kalah dalam ukuran serta ketahanan.
Padahal, permintaan tinggi tak pernah surut. Dewi bisa menjual hingga 200 butir kelapa per hari. Pembeli datang dari berbagai latar: penjual kue, pengusaha makanan tradisional, bahkan peternak yang mencampur kelapa dalam pakan ternak mereka.
“Kalau kelapa parut, kami jual Rp18 ribu per buah. Stok kami ambil dua kali seminggu,” jelasnya.
Menjelang Iduladha, buah kelapa menjadi komoditas penting, terutama untuk bahan makanan khas hari raya. Karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim melalui Dinas Perkebunan (Disbun) melakukan pemantauan langsung ke lapangan.
Analis Kebijakan Ahli Muda Disbun Kaltim Marinda Asih memastikan stok kelapa dalam kondisi aman. Namun, ia mengakui, harga kelapa bisa saja naik menjelang hari besar keagamaan. Ia menyebut harga kelapa saat ini berkisar Rp15 ribu per buah.
“Kalau naik, itu karena permintaan dan juga tergantung supplier. Bukan semata karena hari besar,” ujarnya.
Di balik cerita kelapa ini, tersimpan PR besar bagi Kaltim. Bagaimana mungkin komoditas yang tumbuh di halaman sendiri kalah bersaing di pasar lokal? Di sinilah peran petani, pemerintah, dan pelaku pasar harus bersinergi.
Meningkatkan produktivitas, memperbaiki distribusi, dan memastikan kelapa lokal punya daya saing bukan hanya soal ekonomi tapi juga soal harga diri daerah.
Kelapa bukan sekadar buah. Ia adalah simbol potensi yang belum tergarap maksimal. Dan mungkin, lewat sebutir kelapa, Kaltim bisa belajar berdiri lebih kuat di atas tanah sendiri. (SH)
