Premanisme Berkedok Ormas Rugikan Investasi Ratusan Triliun Rupiah
Portalkaltim.com, Jakarta – Aktivitas premanisme berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas) dinilai semakin meresahkan dan menjadi penghambat serius dalam pertumbuhan investasi nasional. Bahkan nilainya diperkirakan mencapai Rp2.200 triliun, atau sekitar 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Permasalahan tersebut dibahas pengusaha muda sekaligus konten kreator di bidang keuangan, bisnis, pengembangan diri dan fenomena sosial Raymond Chin, dalam unggahan YouTube pribadinya yang berjudul “Alasan Ormas dan Premanisme Merajalela di Indonesia”.

Raymond mengungkapkan isu itu mencuat usai pernyataan Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Sanny Iskandar, yang menilai ormas telah mengganggu aktivitas produksi nasional dan membuat investor hengkang.
Beberapa perusahaan asing seperti BYD asal China dan VinFast dari Vietnam yang hendak membangun pabriknya di Subang, Jawa Barat, sempat hampir membatalkan investasi akibat intimidasi dari ormas lokal.
“Dia terang-terangan bilang ormas itu menganggu aktivitas produksi nasional. Investor cabut, perusahaan takut masuk dan ruginya bisa sampai ratusan triliun rupiah,” katanya.
Di lapangan, praktik pungutan liar oleh ormas berlangsung sistematis. Di Pasar Induk Jati, Jakarta misalnya, pedagang kaki lima dipalak hingga Rp1 juta per bulan dan dikenakan iuran harian sebesar Rp20 ribu. Setoran liar dari satu titik pasar ini bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
Tak hanya itu, kasus serupa juga terjadi di Cilegon. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) setempat melakukan pengancaman dan pemerasan PT Chandra Asri Alkali (CAA) senilai Rp5 triliun dengan nilai proyek mencapai Rp8 triliun, yang diminta tanpa lelang.
Sementara di Kalimantan Tengah, pabrik PT Bumi Asri Pasaman (BAP) terpaksa disegel setelah ormas (GRIB) yang menagih utang pembelian karet senilai Rp778 juta. GRIB mengajukan ganti rugi sebesar Rp1,4 miliar dengan bunga 6 persen sejak 2011.
Menurut peneliti Australia Ian Douglas Wilson dalam bukunya The Politics of Preman, Raymond menjelaskan bahwa ormas sering dijadikan alat kekuasaan untuk menjalankan fungsi-fungsi kotor.
“ormas itu sudah sering jadi alat politik dan di kawasan bisnis Indonesia itu jadi seperti tangan kotornya untuk beberapa kepentingannya,” tuturnya.
Studi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut praktik tersebut masuk dalam kategori shadow economy, yakni kegiatan ekonomi gelap yang tidak tercatat resmi. Jumlahnya signifikan dan dapat membahayakan stabilitas perekonomian nasional. Tercatat Indonesia diperkirakan kehilangan sekitar Rp400 triliun per tahun dari potensi pajak dan sektor informal dan shadow economy.
Raymond meneruskan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per Maret 2024 mencatat ada lebih dari 550.000 ormas di Indonesia. Walaupun 10.000 preman telah ditangkap dan 56 ormas dibekukan, pemerintah dianggap masih pasif dalam memberantas masalah ini.
Melihat nilai-nilai fantastis tersebut, Raymond mempertanyakan mengapa selama ini pemerintah hanya diam, bahkan menurutnya ini sudah menjadi ancaman nasional, yang sudah sepatutnya diberantas.
Adapun alasan yang menyebabkan tingginya angka premanisme dari ormas adalah kurangnya lapangan pekerja. Diungkapkan Raymond di awal video tersebut, bahwa kegiatan premanisme ini bagai lingkaran yang tak terputus.
“Yang balik lagi gue jelasin di awal no investment, no business, no Jobs,” tegasnya.
Selain itu, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. UU ini dianggap perlu direvisi. Sebab, ormas di dalamnya dibagi menjadi dua, yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Di pasal 16-18 diuraikan bahwa tidak terlalu ada perbedaan antara ormas berbadan hukum dan tidak.
Ia melanjutkan, sekalipun SK ditarik, ormas tetap bisa berjalan seperti biasa, seperti tidak ada tindakan tegas.
Jika tidak ditangani secara menyeluruh, premanisme yang bertransformasi dari wadah perjuangan rakyat menjadi alat pemerasan modern ini dikhawatirkan akan terus menjadi batu sandungan besar bagi Indonesia untuk mencapai status negara maju.
Solusinya, menurut Raymond, UU Ormas harus direvisi. Ambigu yang tidak ditegaskan dalam UU tersebut, bisa terus melahirkan ormas preman lainnya. Kemudian, jika ormas mudah untuk mendaftarkan legalitasnya, maka diperlukan pengawasan yang ketat.
“Kalau memang gampang buatnya harus ada effort buat gampang mengawasi dari cara audit, laporan keuangan terbuka pelatihan organisasi,” ucapnya.
Terakhir, solusi darinya adalah menutup akses politik. Artinya, para politikus yang duduk aktif di kursinya, tetapi turut mengendalikan dan melindungi para ormas, dilarang “menyetir”. Kekuatan politikus dan orang berkepentingan di belakang ormas, dinilainya menyulitkan pembasmian ormas preman.
Pria yang akrab dipanggil Ko Raymond ini berharap makin banyak masyarakat, terutama pemerintah, yang sadar akan masalah premanisme oleh ormas tersebut. Pengaruh ormas preman terhadap ekonomi di Indonesia sangat besar dan seiring berjalannya waktu apabila tidak ada tindakan tegas, bisa dipastikan kemunduran ekonomi akan semakin terasa.
“Kita sadar ini salah satu hal yang harus diberesin pelan-pelan, masalah di Indonesia harus diberesin satu-satu,” harapnya. (SH)
